Senin, 26 April 2010

Pentingnya ketahanan nasional dalam menghadapi ACFTA

Pentingnya ketahanan nasional dalam menghadapi ACFTA
Pada bulan November tahun 2004 lalu pada ASEAN Summit di Vientiene, Laos, para menteri ekonomi Negara-negara anggota ASEAN dan China telah menandatangani perjanjian Trade in Goods (TIG), yang merupakan rancangan perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif antara ASEAN dan China. ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) direncanakan akan dilangsungkan pada tahun 2010, sementara untuk anggota-anggota baru ASEAN dilaksanakan pada tahun 2015. (10/02)

Tujuan dari pembentukan ACFTA ini adalah untuk menciptakan sebuah kawasan ekonomi yang memiliki pasar sebesar 1.7 miliar konsumen, dengan GDP total sebesar 2 triliun dolar. Total perdagangan yang berlangsung di kawasan ini diperkirakan mencapai 1.23 triliun dolar. ACFTA akan menjadi kawasan perdagangan bebas yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia. Sementara itu tujuan lain adalah untuk menggiatkan perdagangan antara ASEAN dan China, yang sejak tahun 2000 telah mengalami laju pertumbuhan yang dramatis.

Secara teoritis pemberlakuan ACFTA merupakan hal yang menguntungkan bagi Negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dengan peniadaan hambatan perdagangan maka akan dapat dikurangi dead weight loss dalam ekonomi. Akan tetapi secara polits, kondisi ini dikhawatirkan akan sulit untuk dicapai.

Seperti yang kita maklumi, wacana pemberlakuan ACFTA memperoleh tantangan dari berbagai pihak di dalam negeri. Mulai dari petani, pengusaha, hingga DPR mengungkapakan keberatan dengan perjanjian perdagangan bebas ini. Hal ini tentunya tidak lepas dari kekhawatiran bahwa perdagangan bebas dengan China akan mengakibatkan turunnya pangsa pasar produk dalam negeri, terutama dari sektor pertanian dan manufaktur.

Produk Indonesia Minim Daya Saing, Neraca Perdagangan Terancam
Salah satu alasan keberatan terhadap pemberlakuan ACFTA adalah kurangnya daya saing produksi dalam negeri dengan produk-produk dari Negara ASEAN lain dan China. Bagaimana sesungguhnya posisi daya saing Indonesia di tangah negara-negara Asean dan China? Dilihat secara statistik, Indonesia cenderung mengalami neraca perdagangan yang defisit dengan China dan beberapa negara Asean. Artinya, nilai impor dari negara-negara itu masih lebih besar dibandingan dengan nilai ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan posisi neraca perdagangan Indonesia dengan China sejak tahun 2005 selalu defisit. Tahun 2005, neraca perdagangan defisit hingga 682,1 juta dolar AS, tahun 2006 defisit 258,3 juta dolar AS, tahun 2007 neraca kembali defisit 1,8 miliar dolar AS. Seiring dengan aktifitas perdagangan yang meningkat antara kedua negara, nilai defisit neraca perdagangan makin besar yakni mencapai 1,8 miliar dolar AS pada 2007 dan 7,9 miliar dolar AS pada 2008. Sementara, pada Januari sampai September 2009, defisit neraca perdagangan dengan China tercatat sebesar 4,6 miliar dolar AS.

Dengan figur tersebut, wajar apabila ada pendapat bahwa perdagangan bebas ASEAN-China akan berdampak pada `imbalance` (tidak seimbangnya) neraca perdagangan antara China dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. China lebih menguasai perdagangan karena produktivitas tenaga kerjanya yang tinggi dan mampu berproduksi secara massal. Di saat bersamaan, China juga agresif mendorong ekspor ke luar negeri dalam bentuk skim-skim kebijakan dan mendorong industri bersaing secara produktif.

Kecenderungan defisit neraca perdagangan juga terlihat dengan negara Asean. Tahun 2008, paparnya, ekspor ke Thailand sebesar 3,66 miliar dolar AS sedangkan impor dari Thailand mencapai 6,33 dolar AS. Dengan Singapura, ekspor mencapai 12,86 miliar dolar AS sedangan impornya tercatat sebesar 21,79 miliar dolar AS. Terakhir, dengan Malaysia ekspor mencapai 6,43 miliar dolar AS sementara nilai impor tercatat sebesar 8,92 miliar dolar AS.

Meskipun Banyak Ancaman, The Show Must Go On
Meskipun bagi banyak pihak perdagangan bebas terindikasi mengancam pasar dalam negeri dan menggeser produk lokal, pemerintah mengaku tidak mungkin membatalkan pemberlakuan ACFTA. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang juga bertindak selaku Koordinator Tim Renegoisasi 228 Pos Tarif menyatakan bahwa ''ACFTA tidak bisa ditunda, pemerintah tetap laksanakan komitmen internasional.''

Akan tetapi DPR mengambil langkah dominan dalam mempersiapkan Indonesia untuk menghadapi perdagangan bebas tersebut. Selama enam bulan ke depan, Komisi VI DPR RI juga bersepakat meminta pemerintah segera melakukan pembenahan dan memperkuat koordinasi dengan instansi lain seperti Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Selain itu, Komisi VI juga mendesak pemberlakuan SNI (Standar Nasional Indonesia) wajib bagi semua produk impor ke World Trade Organization (WTO). Pemerintah juga diminta meningkatkan daya saing industri dengan membangun sarana dan prasarana, pelabuhan, pasokan listrik dan gas, kampanye aku cinta produk Indonesia, serta pengamanan pasar domestik melalui bea cukai. Hal ini sesuai dengan program yang dijanjikan pemerintah untuk memperkuat pasar dalam negeri dan industri nasional menyambut pemberlakuan ACFTA.


Daftar Pustaka :
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar